Adi Hidayat, Oase Pendakwah Muhammadiyah

Adi Hidayat, Oase Pendakwah Muhammadiyah

Adi Hidayat, Oase Pendakwah Muhammadiyah

Dalam lanskap dakwah Islam Indonesia, dua ormas besar yaitu Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah telah lama menjadi pilar utama dalam membentuk pandangan keagamaan masyarakat. Namun dalam satu dekade terakhir, tampak ada ketimpangan dalam eksistensi para pendakwah dari kedua ormas ini, terutama dalam ruang-ruang media sosial. Pendakwah dari latar belakang NU dan gerakan salafi-wahabi (baik lokal maupun luar negeri) tampak jauh lebih mendominasi. Sementara itu, pendakwah Muhammadiyah terlihat tidak begitu banyak muncul ke permukaan.

Salah satu nama yang sering diasosiasikan dengan Muhammadiyah adalah Ustadz Adi Hidayat. Latar belakang pendidikan beliau yang sempat bersentuhan dengan lingkungan yang dekat dengan pemikiran Muhammadiyah membuat banyak orang menganggapnya sebagai bagian dari ormas tersebut, Ustadz Adi Hidayat menempuh pendidikan di Pondok Pesantren Darul Arqam Muhammadiyah, Garut.  Secara formal Ustadz Adi Hidayat merupakan Wakil Ketua I Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah, meski demikian dalam beberapa kesempatan Ustadz Adi Hidayat juga menyampaikan kalau istrinya memiliki jalur kekerabatan dengan tokoh-tokoh NU di Rembang.

Beberapa kali hasil survei yang dilakukan Alvara Research Center sejak tahun 2019 hingga kini menunjukkan progresivitas popularitas Ustadz Adi Hidayat dimata publik Muslim Indonesia. Survei tahun 2019 popularitas Ustadz Adi Hidayat masih diperingkat 14, lalu tahun 2021 naik menjadi peringkat 11. Survei terakhir yang dilakukan Alvara pada bulan September 2024 peringkat Ustadz Adi Hidayat melejit menjadi peringkat ke-2, hanya kalah dari Ustadz Abdul Shomad yang sudah lebih dulu populer. Popularitas dua Ustadz ini merata untuk semua generasi

Dari sisi metodologi dakwah, Adi Hidayat menampilkan gaya yang rasional, tekstual, dan sistematis, yang selaras dengan corak dakwah Muhammadiyah yang menekankan pada keilmuan dan pencerahan akal. Namun dalam prakteknya, Adi Hidayat juga memadukan gaya dakwah populer, narasi emosional, serta rujukan ke khazanah klasik, yang membuatnya bisa diterima oleh spektrum umat yang lebih luas, termasuk di luar kalangan Muhammadiyah.

Posisi Adi Hidayat yang diterima disemua kalangan, lintas ormas, ini tercermin dari pemetaan Ustadz berdasarkan survei Alvara. Bila KH Musthofa Bisri, Gus Baha sangat condong kepada warga NU, maka Ustadz Adi Hidayat bersama Pak Quraish Shihab, dan Ustadz Abdul Shomad berada ditengah, diterima semua kalangan.

Dalam whitepaper “Indonesia Moeslim Report 2019: “The Challenges of Indonesia Moderate Moslems” yang diterbitkan Alvara ada beberapa kriteria ustadz yang menjadi rujukan umat islam. Memiliki rujukan keagamaan kuat, mampu menjawab problematika umat, tegas dan humoris, serta terkenal merupakan 5 kriteria ulama yang menjadi pilihan umat Islam Indonesia. Memiliki rujukan ilmu keagamaan yang kuat merupakan hal wajib dan utama yang dilihat oleh umat Islam. Dengan demikian mereka akan mampu menjawab setiap pertanyaan dari jamaah/umat dengan secara jelas dan lugas. Ustadz Adi Hidayat oleh umat islam Indonesia dianggap memenuhi beberapa kriteria tersebut.

Kebangkitan Pendakwah Muhammadiyah?

Salah satu penjelasan mengapa pendakwah Muhammadiyah tampak lebih “sepi” dibanding NU dan Salafi-Wahabi adalah karena salah satunya pola dakwah Muhammadiyah lebih bertumpu pada institusi daripada figur. Muhammadiyah lebih fokus pada penguatan amal usaha seperti sekolah, rumah sakit, dan universitas, sementara NU dan kelompok lain lebih membiarkan para dai berkembang secara organik sebagai figur publik. Akibatnya, Muhammadiyah kurang melahirkan “ustaz selebriti” yang dikenal luas melalui media digital.

Dalam era digital yang menuntut pendekatan personal dan narasi yang relatable, pendekatan kolektif dan kultural Muhammadiyah mungkin terkesan kurang fleksibel. Sementara NU memiliki modal kultural pesantren dan tradisi ceramah yang hidup di tengah masyarakat, serta gaya komunikasi yang lentur dan cair, Muhammadiyah sering tampil lebih akademik dan kaku.

Fenomena meningkatnya popularitas pendakwah salafi-wahabi dan NU di media sosial mencerminkan perubahan cara konsumsi dakwah di masyarakat. Pendakwah seperti Ustadz Abdul Somad, Gus Baha, Gus Iqdam, Felix Siauw, atau Ustaz Khalid Basalamah sangat aktif dan produktif di platform digital. Mereka menyajikan dakwah dalam format pendek, praktis, dan kadangkala agak provokatif, sesuai dengan algoritma media sosial.

Semua organisasi keagamaan termasuk Muhammadiyah memang harus beradaptasi dengan perubahan zaman, disrupsi digital berimplikasi pada cara pandang dan metode baru dalam berdakwah, teknologi digital mampu menjangkau khalayak yang lebih luas. Dalam teori komunikasi ada pepatah mengatakan content is the king, but context is the winning formula. Content yang dimaksud disini adalah soal substansi, kemampuan, materi dakwah, sementara context adalah cara, kemasan, dan metode menyampaikan dakwah.

Sosok seperti Adi Hidayat membuktikan bahwa pendekatan Muhammadiyah bisa relevan jika dikemas dengan cara yang sesuai dengan zaman. Yang dibutuhkan adalah regenerasi dai yang tidak hanya kuat dalam keilmuan, tetapi juga paham komunikasi digital, mampu membangun personal branding, dan tetap membawa nilai-nilai tajdid (pembaharuan) khas Muhammadiyah.