
Masyarakat Desa Rowoyoso, Kecamatan Wonokerto, Kabupaten Pekalongan, beberapa waktu yang lalu dibuat heboh oleh kemunculan air yang mengalir deras secara tiba-tiba di wilayah mereka. Fenomena ini dianggap luar biasa karena sebelumnya tidak pernah ada mata air di sana. Lebih mengejutkan lagi, air tersebut jernih, tidak berbau, dan terus mengalir, sehingga sebagian warga meyakininya sebagai “air suci” yang membawa berkah dan khasiat tersendiri.
Tak butuh waktu lama, lokasi itu pun ramai didatangi warga. Mereka datang dengan membawa jerigen dan ember, mengantri untuk mendapatkan air yang diyakini istimewa itu. Ada yang mencuci muka, ada pula yang langsung meminumnya, berharap memperoleh kesembuhan atau keberuntungan.
Namun, kehebohan itu perlahan mereda ketika diketahui bahwa air tersebut ternyata berasal dari pipa Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) yang bocor. Bukan dari sumber gaib, bukan pula fenomena spiritual. Seketika, keyakinan sebagian masyarakat runtuh oleh fakta teknis yang sederhana: kebocoran pipa.
Peristiwa ini mengingatkan saya pada kejadian serupa di Mumbai, India, beberapa tahun silam. Saat itu, masyarakat setempat geger karena melihat tetesan air yang mengalir dari kaki patung Yesus di sebuah gereja. Mereka meyakini tetesan itu sebagai air suci dan meminumnya dengan penuh kepercayaan dan harapan akan mukjizat. Sayangnya, setelah diselidiki oleh Sanal Edamaruku, seorang skeptik dan presiden Rationalist International, diketahui bahwa tetesan air tersebut berasal dari pipa toilet yang bocor dan rembes ke dinding tempat patung itu berdiri.
Alih-alih menerima temuan itu sebagai bentuk klarifikasi, Edamaruku justru mendapat gugatan hukum dari kelompok keagamaan karena dianggap menghina keyakinan mereka. Kasus ini menjadi sorotan global dan menggambarkan bagaimana fanatisme bisa membutakan nalar, bahkan menolak kebenaran yang dapat dibuktikan secara ilmiah.
Beruntung, pada kasus di Pekalongan, tidak ada pihak yang tersinggung atau marah secara berlebihan. Kalaupun ada, mungkin hanya rasa malu dari mereka yang terlanjur percaya. Namun fenomena ini seharusnya menjadi bahan renungan bersama: betapa mudahnya kita terjebak pada keyakinan yang tidak berpijak pada nalar.
Kasus seperti ini bukan soal agama semata, tetapi soal kemampuan manusia dalam menyikapi fenomena secara cerdas. Sering kali, ketidaktahuan dikombinasikan dengan harapan akan mukjizat membuat seseorang cepat menarik kesimpulan tanpa proses verifikasi. Kehausan akan keajaiban membuat kita lupa bahwa kebenaran kadang sangat sederhana—dan tidak selalu datang dengan keajaiban yang dramatis.
Tidak Melulu Soal Agama dan Spiritual: Perlu Penyikapan Rasional dan Cerdas
Dalam sejarah, tidak sedikit peristiwa serupa terjadi, di mana masyarakat terjebak dalam euforia spiritual karena sesuatu yang dianggap sebagai “tanda-tanda langit”. Air mata pada patung, bayangan berbentuk religius di dinding, bentuk awan di langit yang menyerupai sesuatu yang diagungkan, hingga fenomena alam tertentu yang kerap dimaknai secara mistis tanpa penelusuran lebih dalam. Di sinilah pentingnya literasi sains dan literasi keagamaan berjalan berdampingan. Keduanya tidak perlu saling menafikan.
Menurut hemat saya, keberimanan yang kuat haruslah dilandasi dengan rasionalitas. Keimanan bukan sekadar percaya tanpa berpikir. Dalam Islam, akal memegang peranan yang sangat penting. Bahkan, syarat pertama seseorang bisa dikenai kewajiban syariat adalah berakal. Orang yang tidak berakal—dalam hal ini orang gila—tidak dikenai beban hukum agama karena kehilangan fungsi berpikirnya.
Ayat pertama yang diturunkan dalam Al-Qur’an, Iqra (bacalah), adalah seruan untuk menggunakan akal. Membaca bukan hanya soal melafalkan huruf, tapi menganalisis, memahami, dan merenungkan. Membaca bisa dilakukan dengan mata (melihat), dengan telinga (mendengar), bahkan dengan rasa (mengecap), dan semua itu menuntut kesadaran dan akal yang sehat.
Maka, ketika masyarakat dengan cepat mengaitkan fenomena fisik dengan spiritualitas tanpa terlebih dahulu menyelidiki kebenarannya, itu bukan semata bentuk iman, melainkan ketergelinciran dalam taklid dan keinginan untuk percaya pada hal luar biasa. Tentu, iman dan rasa takjub terhadap hal-hal ilahiah adalah sah-sah saja. Tapi keimanan yang sehat justru mendorong manusia untuk berpikir, bertanya, dan mencari tahu.
Dalam konteks kehidupan beragama yang semakin kompleks saat ini, kemampuan untuk memilah antara keyakinan dan fakta menjadi semakin penting. Kita tidak bisa lagi hanya berpegang pada dogma tanpa konfirmasi. Dunia terus berkembang. Teknologi dan ilmu pengetahuan memberikan kita alat untuk memeriksa dan mengevaluasi setiap informasi, termasuk fenomena spiritual sekalipun.
Namun demikian, bukan berarti akal harus didudukkan lebih tinggi dari iman. Iman dan akal semestinya berjalan seiring. Kepercayaan dalam beragama bisa dan seharusnya dijelaskan secara logis. Memang ada batas akal manusia, tetapi selama masih dalam jangkauan nalar, keimanan yang didasarkan pada pemahaman rasional justru akan lebih kokoh dan tidak mudah tergoyahkan oleh fenomena-fenomena semu.
Iman yang sehat tidak takut diuji oleh ilmu pengetahuan. Justru, ia semakin menemukan kedalaman dan kekokohan ketika diuji dalam ranah nalar. Maka, ketika air mengalir dari pipa yang bocor, mari kita tersenyum, belajar, dan merenung—bahwa di balik fenomena sederhana pun, ada pelajaran besar tentang cara kita memahami dunia dan keimanan kita sendiri.
(AN)