
Vijay Prashad, seorang sejarawan, jurnalis, dan aktivis politik asal India, lahir tahun 1967. Dia dikenal luas sebagai salah satu pemikir terdepan tentang Dunia Ketiga, anti-imperialisme, dan hubungan global Selatan-Selatan. Lewat bukunya The Darker Nations: A People’s History of the Third World (2007) menawarkan sesuatu yang jauh melampaui daftar panjang negara-negara miskin di peta dunia. Ia mencoba menghidupkan kembali gagasan yang nyaris dilupakan. Baginya, Dunia Ketiga bukanlah soal batas geografis melainkan proyek politik yang pernah berdenyut, mengguncang dunia begitu kuat, penuh harapan, sekaligus rapuh.
Berkat penerbit GDN, buku ini telah diterjemahkan oleh Keenan Nasution berjudul Bangsa-bangsa Kulit Berwarna: Sejarah Masyarakat Dunia Ketiga bisa dibilang melampaui penelitian sejarah. Ia mengajukan gugatan sekaligus perayaan. Prashad membawa kita menyusuri jalan panjang penuh luka dan mimpi, dari perlawanan antikolonial hingga percobaan berani membangun tatanan dunia baru yang lebih adil. Di tangan Prashad, cerita tentang perhelatan konferensi di Bandung 1955, Kairo 1961, hingga Havana 1966, tidak tampil membosankan sebagaimana cerita di buku pelajaran. Prashad memberikan nafas, menggebrak, mengungkit ketegangan, ambisi, solidaritas, dan ketidakpastian.
Dalam konteks geopolitik saat ini, buku The Darker Nations tetap relevan jadi bacaan memahami bagaimana semangat Bandung 1955 mampu melahirkan mimpi solidaritas global menantang hegemoni Barat. Namun sebagaimana diungkap dalam artikel The Economist, 26 April 2025 berjudul “How the Global South Forgot Its Own Birthday,” pembaca perlu menyadari bahwa solidaritas itu kini hampir sepenuhnya menguap dan masuk angin lantaran tergantikan pragmatisme nasional dan kesenjangan baru di antara negara-negara Selatan. Maka, membaca Prashad hari ini bukan hanya perlu buat mengenang sejarah, tetapi juga merenungi mengapa cita-cita besar itu gagal dan apa yang perlu diperbaiki dalam membangun dunia yang lebih adil.
Salah satu kekuatan paling menonjol dari buku ini adalah, bagaimana Prashad berupaya menggeser fokus dari para pemimpin dunia ke aspirasi rakyat biasa. Ia menangkap denyut perjuangan rakyat di Asia, Afrika, dan Amerika Latin yang menuntut martabat, keadilan sosial, dan kedaulatan ekonomi. Dunia Ketiga, dalam narasi Prashad, adalah upaya kolektif menantang dominasi kolonialisme, kapitalisme global, dan politik kekuasaan dua kutub Perang Dingin.
Namun Prashad tidak berusaha membangun mitos baru. Ia tidak menghindar dari fakta pahit: proyek Dunia Ketiga yang akhirnya runtuh berkeping-keping dihantam kekuatan intervensi ekonomi dan militer negara-negara besar. Begitu juga bagaimana kekuatan dari dalam oleh kompromi para elitnya melumpuhkan transformasi sosial yang mendalam. Hingga pada akhirnya kegagalan demi kegagalan membangun demokrasi ekonomi berlangsung. Ia menunjukkan bagaimana krisis utang, kebijakan IMF, dan neoliberalisme membunuh perlahan mimpi itu, sambil dengan jujur mengakui bahwa kegagalan itu juga lahir dari kelemahan di tubuh gerakan itu sendiri.
Bagaimana kedudukan Indonesia dalam buku ini?
Ada sesuatu yang menggetarkan ketika membaca tentang Indonesia. Bagian ini, Prashad berupaya menggali kembali ruh sebuah mimpi besar. Mimpi bangsa-bangsa bekas jajahan yang pernah, dengan segala keberanian dan kepedihan, mencoba membangun dunia yang lebih adil di antara runtuhnya puing-puing kolonialisme.
Prashad meletakkan Indonesia tampil bukan sebagai figuran. Indonesia justru sentral berdiri di panggung, memainkan peran utama dan penting dalam “pembentukan” makna Dunia Ketiga. Kita diajak menghidupkan kembali momen Bandung 1955, ketika delegasi Asia dan Afrika berkumpul. Bukan cuma mengutuk kolonialisme, tapi membayangkan dunia baru: dunia yang tidak tunduk pada logika penjajahan lama maupun ketakutan Perang Dingin.
Bandung, dalam narasi Prashad, lebih dari konferensi seremonial; ia adalah harapan yang mengambil bentuk, menggelegar dengan semangat persatuan dan kemerdekaan.
Di balik gegap gempita itu, Indonesia juga menjadi cermin kepedihan kontradiksi internal proyek besar ini. Prashad dengan empati namun tetap jernih menggambarkan bagaimana perjuangan panjang melawan Belanda dan Jepang membentuk kesadaran nasional Indonesia. Ia menunjukkan bagaimana karisma Sukarno, dengan visinya tentang NASAKOM, berusaha menjahit kekuatan nasionalis, agama, dan komunis ke dalam satu kain kebangsaan yang kokoh. Bagi Prashad, Bung Karno mengingatkan kita bahwa gerakan rakyat, pemuda, buruh, perempuan, hingga petani pernah menjadi denyut jantung politik Indonesia.
Namun Prashad tidak memoles kenyataan. Ia menunjukkan dengan pahit getir bagaimana kontradiksi-kontradiksi itu, ketegangan yang tak terselesaikan antara Sukarno, PKI, dan militer, pada akhirnya mengantar Indonesia ke dalam sebuah tragedi berdarah: kudeta 1965. Bagi Prashad, pembantaian massal yang terjadi merupakan salah satu genosida politik terbesar abad ke-20. Bukan hanya tragedi nasional melainkan lebih dari itu. Ia adalah upaya penghancuran salah satu pilar utama Dunia Ketiga itu sendiri.
Melalui bukunya, Prashad menulis para tokoh gerakan nasional begitu hidup, menukik dan melandai. Sukarno tampil sebagai pejuang gigih yang bermimpi besar namun terjebak di antara badai politik. D.N. Aidit digambarkan sebagai figur penting yang mampu menggerakkan kekuatan rakyat, tetapi juga sebagai seseorang yang salah membaca kekuatan lawan. Dan Suharto hadir sebagai simbol dari pergeseran besar: dari harapan kolektif menuju konsolidasi kekuasaan militer yang sangat pragmatis dan brutal.
Dengan gaya narasi yang penuh simpati terhadap aspirasi Dunia Ketiga, The Darker Nations mengajak kita memahami bahwa kekalahan bukanlah semata akibat kelemahan internal, tetapi juga hasil kerja politik dengan intervensi brutal dari kekuatan global yang tidak rela melihat dunia berubah. Membaca kisah Indonesia dalam buku ini serasa membaca surat cinta yang terlambat dibaca sang kekasih, yakni negara-bangsa yang baru saja lahir dan merdeka. Dunia di mana solidaritas dan keadilan mengalahkan eksploitasi dan keserakahan.
Apa yang Prashad gambarkan dalam bukunya tentang Islam Politik?
Prashad menyebutkan banyak tokoh Islam berusaha menanamkan nilai-nilai agama ke dalam gerakan nasionalisme sekuler. Sukarno, misalnya, merangkul agama dalam konsep NASAKOM-nya di Indonesia. Di Mesir, cendekiawan seperti Aisha Abdul-Rahman menunjukkan bahwa Islam dan perjuangan kemerdekaan nasional bisa berjalan beriringan. Bahkan Ikhwanul Muslimin pernah menjadi bagian dari politik nasional pasca-kudeta 1952, sebelum dihantam represi brutal Gamal Abdul Nasser.
Namun, jalan ceritanya tidak berhenti di sana. Dalam bab “Mekkah”, Prashad menunjukkan babak baru: kemunculan Islam politik konservatif dimotori dan didanai Saudi Arabia. Raja Faisal menjadikan Wahabisme sebagai senjata ideologis menggulung pengaruh Nasserisme dan Komunisme. Bukan hanya di Arab Saudi, tapi di seluruh dunia Islam. Lewat pendirian Liga Muslim Dunia (1962) dan Organisasi Konferensi Islam (1969), Saudi membangun front pan-Islamisme konservatif yang secara terbuka menyerang nasionalisme sekuler dan sosialisme sekaligus menjalin aliansi strategis dengan Amerika Serikat di puncak Perang Dingin.
Saat negara-negara Dunia Ketiga remuk dihantam utang dengan paket neoliberal IMF, jaringan Islamis konservatif inilah yang masuk mengisi ruang kosong. Mereka menyediakan pendidikan, layanan kesehatan, dan bantuan sosial, membangun basis massa baru dari paska reruntuhan.
Tak berhenti di situ, Prashad mencoba mengungkap bagaimana kelompok-kelompok Islamis digunakan sebagai alat geopolitik. Mujahidin Afghanistan, misalnya, dibesarkan dengan dana Saudi dan CIA guna melawan pemerintahan Marxis dan Uni Soviet. Di Indonesia, kekuatan kanan berideologi agama bersekutu dengan militer dalam pembantaian anti-komunis 1965-66. Di Pakistan, Jenderal Zia ul-Haq menghidupkan madrasah jihadisme dengan dukungan penuh Riyadh dan Washington.
Lebih jauh lagi, Prashad membaca kebangkitan Islam politik ini sebagai bagian dari transformasi lebih luas: dari nasionalisme sekuler yang antikolonial menuju nasionalisme kultural berbasis agama atau ras. Sebuah bentuk identitas politik sempit yang justru mempercepat penetrasi globalisasi neoliberal. Di tangan IMF dan para patron barat, nasionalisme kultural ini menjadi “kuda Troya” yang membongkar proyek solidaritas Dunia Ketiga dari dalam.
Singkatnya, The Darker Nations memperlihatkan bahwa perjuangan kelompok Islam dalam sejarah Dunia Ketiga bukan cerita hitam-putih. Ia adalah medan sangat kompleks, kadang penuh harapan integrasi, kadang menjadi oposisi, kadang pula terjerat dalam permainan kekuasaan global. Sebuah pembacaan tajam yang perlu dipertimbangkan relevansinya di tengah gelombang simplifikasi politik identitas hari ini.
The Darker Nations bukan hanya merekam kegagalan. Ia menjaga api semangat bahwa dunia baru tetap mungkin. Bahwa luka sejarah, betapapun dalamnya, tidak pernah bisa sepenuhnya memadamkan mimpi kemerdekaan.
Kritik dan Rekomendasi
Meskipun narasinya luar biasa, buku ini tetap perlu mendapat catatan. Sebagai pembaca, hemat saya Prashad kerap menggeneralisasi pengalaman yang amat beragam di berbagai negara. Alih-alih ia menulis “sejarah rakyat”, suara-suara akar rumput kadang masih tenggelam bahkan anonim di balik deretan nama besar seperti Nehru, Nasser, Sukarno, dan Castro. Ada juga kritik bahwa ketergantungannya pada sumber sekunder membatasi kedalaman analisisnya. Dan meski alur cerita tentang “kebangkitan dan penghancuran” proyek Dunia Ketiga terasa kuat, ada risiko bahwa ia membuat sejarah seolah-olah bergerak linear, padahal kegagalan membangun kekuatan Dunia Ketiga itu sudah tak terelakkan.
Bagi saya, semenjak buku ini diterbitkan 2007 hingga 2025 sekarang, Prashad perlu mempertimbangkan kembali tentang dinamika narasi solidaritas global yang lebih adaptif terhadap dunia multipolar saat ini. Spirit Bandung berbasis kesetaraan dan keadilan perlu dikontekstualisasikan ulang dalam realitas politik di mana kekuasaan kini lebih terfragmentasi, namun tetap eksploitatif. Alih-alih hanya mengenang kegagalan Dunia Ketiga, Prashad bisa memperkaya analisisnya dengan membayangkan model solidaritas baru yang mampu melampaui kerangka negara-bangsa, merangkul gerakan masyarakat sipil, jaringan akar rumput, dan komunitas transnasional.
Tetapi lepas dengan keterbatasan, buku ini tetaplah karya penting dan berani. Para pemikir besar, Noam Chomsky hingga Eduardo Galeano memuji keberanian Prashad mengangkat kembali suara-suara yang selama ini ditekan sejarah resmi. Ia membantu kita mengingat bahwa di balik angka-angka ekonomi dan peta geopolitik, ada manusia, ada gerakan, ada harapan.
Buku ini adalah bacaan wajib bagi siapa pun yang ingin memahami sejarah dunia dari sudut pandang mayoritas penduduknya: negara-negara bekas jajahan yang pernah membangun proyek ambisius bernama Dunia Ketiga. Buku ini menawarkan narasi kritis tentang bagaimana negara-negara itu berjuang memerdekakan diri dari imperialisme, membangun solidaritas global, dan menantang dominasi kekuatan Barat melalui Gerakan Non-Blok. Mahasiswa, akademisi, aktivis, hingga jurnalis akan menemukan dalam buku ini kerangka konseptual yang kuat, narasi sejarah yang tidak Eropasentris, dengan analisis tajam tentang kegagalan modernisasi ala Barat dan jebakan neoliberalisme.
Melalui buku ini, Prashad menjelaskan peta intelektual memahami dunia kontemporer: dari ketimpangan Utara-Selatan, krisis utang negara berkembang, hingga kebangkitan nasionalisme kultural dan fundamentalisme agama. Aktivis dan pegiat sosial akan menemukan inspirasi perjuangan kolektif yang pernah dibangun di atas prinsip solidaritas Selatan-Selatan.
Para diplomat, pembuat kebijakan, hingga pembaca umum yang haus sejarah alternatif akan menemukan konteks penting membaca realitas dunia hari ini, bukan sebagai “kisah sukses” kapitalisme, melainkan sebagai perjuangan panjang rakyat menentukan nasib mereka sendiri.
Singkatnya, buku ini mengundang pembca keluar dari narasi resmi yang selama ini disajikan. Dengan gaya yang bersemangat dan penuh kedalaman, Vijay Prashad menantang kita untuk melihat dunia bukan dengan kacamata para pemenang, melainkan dari mereka yang terus berjuang di bawah bayang-bayang kekuasaan global. Ini adalah buku buat siapa saja yang serius ingin memahami mengapa dunia menjadi seperti sekarang, dan perjuangan apa saja untuk mengubahnya.
Bagi pembaca dan penggerak perubahan, agar tantangan tidak jatuh dalam nostalgia kosong atau pesimisme, yang dibutuhkan adalah keberanian membangun solidaritas lintas batas yang bukan hanya didasarkan pada kesamaan sejarah kolonialisme, tetapi juga pada komitmen bersama terhadap keadilan sosial, demokrasi ekonomi, dan keberlanjutan planet bumi.
Konferensi di Bandung pada 18-25 April 1955 mungkin telah dilupakan para elite, tetapi dari bawah kita bisa menghidupkan cita-citanya. Dari gerakan rakyat, jaringan solidaritas baru, dan imajinasi politik yang lebih berani. Kerena membaca buku ini jangan sampai berhenti dan terlena pada kejujuran Prashad menguak luka dan membuka harapan masa lalu: Sebuah album kenangan Dasasila Bandung yang lahir dari rahim penderitaan negara-negara Asia, Afrika dan Amerika Latin.