Di Titik Persimpangan Pergantian Rezim, Evaluasi Kebebasan Beragama di Indonesia 2024 dan 2025

Di Titik Persimpangan Pergantian Rezim, Evaluasi Kebebasan Beragama di Indonesia 2024 dan 2025

Di Titik Persimpangan Pergantian Rezim, Evaluasi Kebebasan Beragama di Indonesia 2024 dan 2025

Kebijakan presiden Joko Widodo dalam memerangi aksi ekstremisme dan ideologi radikal terorisme di periode pemerintahan kedua pernah menuai pujian dari The US Commission on International Religious Freedom (USCIRF).

Salah satu komisioner komisi di Amerika Serikat untuk kebebasan beragama itu, Johnnie Moore, menyebut bahwa upaya presiden Jokowi dalam mempromosikan kehidupan plural yang damai dalam masyarakat dan sekaligus melestarikan Islam wasatiyyah patut diapresiasi.

Johnnie Moore menambahkan bahwa presiden Jokowi melakukan hal yang benar dengan tidak menyalahgunakan hak kebebasan beragama dan hak asasi manusia untuk melindungi gerakan ekstremisme.

Agama memainkan peran yang sangat besar dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat Indonesia. Islam merupakan agama yang sangat berpengaruh dalam pertimbangan dan pengambilan kebijakan publik di Indonesia.

Yang juga patut disyukuri, Indonesia masih menjadi rumah bagi banyak cendekiawan dan pemimpin Islam yang moderat dan kredibel di dunia. Sehingga nilai-nilai religiusitas di Indonesia masih terjaga dengan baik dalam koridor yang tepat.

Di sisi lain, intoleransi dan radikalisasi tampak masih mengintai sejak rezim Jokowi berakhir dan memasuki pemerintahan Prabowo Subianto hingga di akhir semester pertama tahun 2025 ini.

Kekhawatiran ini dibaca kembali oleh USCIRF dalam laporan tahunan terbaru tentang kebebasan beragama internasional di tahun 2025. Laporan itu menyebut Indonesia masih bermasalah dengan kebebasan beragama.

Laporan USCIRF 2025 menyebutkan bahwa meskipun konstitusi Indonesia menjamin kebebasan beragama, pemerintah Indonesia masih terus menggunakan berbagai kerangka hukum yang membatasi kebebasan beragama, seperti Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan penguatan di beberapa pasal Undang-Undang Penistaan Agama yang akan berlaku tahun 2026.

UU ini memungkinkan pihak berwenang untuk lebih mudah menindak individu atau kelompok yang dianggap menistakan agama, namun terkadang dengan interpretasi yang sangat subjektif.

Pelanggaran kebebasan beragama ini misalnya ditemukan di Jombang, Jawa Timur, pada bulan Maret 2024, di mana otoritas setempat menghalangi jemaat Kristen Protestan yang ingin mengadakan kebaktian di sebuah gereja di wilayah yang mayoritas Muslim.

Meski gereja tersebut memiliki izin resmi (Izin Mendirikan Bangunan – IMB), pihak berwenang tetap menghalangi acara tersebut dengan alasan potensi gangguan keamanan dan keberatan dari masyarakat setempat. Bahkan, pihak berwenang menarik 50 warga Jombang untuk dipaksa kembali ke rumah mereka, serta mengharuskan mereka untuk menutup layanan ibadah di gereja tersebut.

Pada bulan Mei, warga Muslim di Provinsi Banten menyerang 12 mahasiswa Katolik di Universitas Pamulang di kota Tangerang Selatan, di mana para mahasiswa tersebut sedang mengadakan ibadah rosario lingkungan.

Pada bulan November, Universitas Katolik Parahyangan di Bandung, Provinsi Jawa Barat, dilaporkan menerima ancaman bom dari Jamaah Ansharut Daulah, sebuah kelompok militan terlarang yang terhubung dengan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).

Tidak hanya itu, beberapa kelompok minoritas agama di Indonesia, seperti Ahmadiyah, Baha’i, Hindu, Buddha, dan Saksi Jehovah masih menghadapi diskriminasi berat.

Pendirian tempat ibadah dan kegiatan keagamaan mereka kerap kali terganjal oleh pembatasan administratif atau bahkan persekusi langsung dari kelompok tertentu yang merasa terancam dengan eksistensi mereka.

Pada bulan Desember, di bawah tekanan dari kelompok Islam garis keras otoritas pemerintah di Jawa Barat melarang pertemuan tahunan umat Muslim Ahmadiyah di Kabupaten Kuningan, sehingga lebih dari 6.000 jamaah terdampar di stasiun kereta api Cirebon.

Sebagai contoh, dalam beberapa tahun terakhir, gereja-gereja Kristen di wilayah tertentu sering kali dipaksa untuk menanggalkan simbol-simbol agama mereka atau bahkan ditutup oleh otoritas lokal.

Hal ini memperlihatkan bahwa tantangan terbesar dalam kebebasan beragama di Indonesia bukan hanya berasal dari ketidakadilan struktural, tetapi juga dari kelompok-kelompok intoleran yang mendapatkan perlindungan, baik secara langsung atau tidak langsung, dari bagian-bagian masyarakat atau bahkan pemerintah.

Catatan USCIRF tidak semuanya buruk. Di antara perkembangan positif yang signifikan adalah pada tahun 2024, pemerintah menambahkan kategori ketujuh—“kepercayaan”—sebagai agama yang diakui pada kartu identitas nasional, yang menguntungkan kelompok agama lokal yang tidak termasuk dalam enam agama yang diakui dan sering mengalami diskriminasi.

Selain itu, pemerintah tidak lagi mewajibkan umat Kristen untuk menggunakan istilah Arab “Isa al-Masih” untuk merujuk pada Yesus Kristus—yang dianggap lebih dapat diterima oleh mayoritas Muslim—dan secara resmi membolehkan mereka untuk menggunakan istilah Indonesia asli, Yesus Kristus, selama perayaan hari raya Kristen besar.

Walakhir, dengan latar belakang tersebut, Pemerintah Indonesia memiliki pekerjaan rumah besar di tahun 2025 untuk memastikan bahwa kebebasan beragama benar-benar menjadi hak yang dilindungi dan dihormati oleh semua pihak.

Tak hanya itu, upaya yang lebih serius dalam menghentikan intoleransi, menanggulangi radikalisasi, dan memperkuat kesadaran pluralitas perlu dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat Indonesia secara keseluruhan.

Ini adalah saat yang krusial untuk menunjukkan bahwa Indonesia masih bisa menjadi rumah yang aman bagi seluruh umat beragama, seperti yang tercermin dalam sejarah panjang keberagaman bangsa ini.