
Ada pagi-pagi yang menolak menjadi siang. Saat matahari enggan naik ke langit, dan dunia tetap muram seperti kepala yang penuh beban. Tubuh yang gelisah tak ingin diam, dan hati yang tak ingin bicara justru tenggelam dalam gerak.
Maka kaki pun mulai melangkah, sepasang sepatu bersahaja menyentuh jalan, dan dari titik itulah, perjalanan berlari dimulai. Bukan karena dikejar, bukan pula untuk mengejar. Melainkan karena ada yang ingin diurai, dipecahkan, dan dilepaskan—tanpa perlu kata-kata.
Berlari, lebih dari sekadar gerakan fisik, adalah ekspresi relung hati. Ia adalah bentuk paling purba dari eksistensi tubuh.
Noel Brick dan Stuart Holliday dalam buku The Psychology of Running (2024) menyatakan bahwa “berlari tidak hanya membentuk tubuh manusia.
Ia turut membentuk otak, persepsi, bahkan pilihan-pilihan hidup. Kebutuhan untuk berlari, menavigasi lingkungan, mengambil keputusan, dan beralih perhatian antarpelbagai rangsangan adalah stimulus ideal bagi otak manusia untuk beradaptasi dan berkembang” (hlm. 22).
Manusia bukanlah makhluk tercepat di bumi. Namun dari semua makhluk, kita adalah yang paling bertahan.
Kita bisa melampaui hewan tercepat dalam lomba maraton. Karena berlari, bagi manusia, bukan tentang kecepatan, tapi tentang ketekunan. Perihal kapasitas untuk terus melangkah meski dunia memanggil untuk menyerah.
Di tengah dunia digital yang kian menekan, di mana notifikasi menumpuk dan rasa cemas menjadi kebisingan laten, tubuh tetap memiliki kehendak untuk bergerak.
Ketika kaki menapaki jalanan pagi yang masih diam, ketika napas berdetak seiring langkah, tubuh seolah sedang mengungkapkan sesuatu yang tak bisa disampaikan dengan bahasa.
Motivasi untuk berlari datang dalam banyak bentuk. Di masa muda, kita berlari untuk menang. Di usia dewasa, kita berlari untuk menemukan. Di masa tua, kita berlari untuk mengingat.
Brick dan Holliday meneroka bahwa motivasi lari sangatlah individual. Ada yang berlari untuk kesehatan, untuk menurunkan berat badan, atau untuk mengejar prestasi. Namun ada pula yang berlari semata karena cinta: kepada udara, kepada tubuh, kepada sunyi.
Salah satu bentuk motivasi paling murni, menurut mereka, adalah motivasi intrinsik. “Motivasi intrinsik—menikmati suatu aktivitas karena kita menyukainya—adalah bentuk motivasi yang paling otonom, paling ditentukan oleh diri sendiri, dan berkualitas tinggi” (hlm. 13).
Berlari, dalam bentuk ini, tidak lagi soal tujuan, tapi proses. Tidak lagi soal capaian, tapi tentang keberadaan.
Akan tetapi seperti halnya cinta yang terlalu dalam bisa menyakitkan, lari pun bisa menjadi candu.
Buku ini mengingatkan bahwa “kecanduan terhadap lari adalah hal ihwal nyata. Beberapa individu menjadi sangat terikat dengan kegiatan ini sampai mereka mengabaikan cedera, kehidupan sosial, dan bahkan pekerjaan mereka sendiri” (hlm. 27). Tatkala gerak menjadi pelarian, dan bukan penemuan, tubuh justru menjauh dari makna.
Untungnya, lari tak selalu tentang pencapaian pribadi. Ia bisa menjadi alat pembebasan kolektif.
Dalam program seperti “Girls on the Run”, anak-anak perempuan diajarkan untuk mengenal dan mempercayai diri mereka melalui aktivitas berlari. “Girls on the Run membantu anak-anak perempuan mengenali kekuatan batin mereka, membangun hubungan yang sehat, dan menjadi pemikir yang kritis dan mandiri. Mereka diajarkan untuk menemukan ‘irama nyaman’ dalam lari dan untuk terus bergerak, apa pun bentuknya—berjalan, melompat, atau berlari” (hlm. 126).
Lebih jauh lagi, kegiatan berlari juga menjadi sarana pemulihan sosial. “Program seperti Back on My Feet dan A Mile in Her Shoes dapat meningkatkan kepercayaan diri, mengurangi rasa kesepian, dan memberdayakan individu dalam menghadapi tantangan hidup mereka” (hlm. 134).
Di sana, berlari bukan hanya tentang tubuh, tetapi juga tentang martabat. Perihal memulihkan keyakinan bahwa hidup masih layak dijalani.
Dalam hidup yang penuh kehilangan, saat beban menggumpal dalam dada dan waktu tidak memberi kesempatan untuk berhenti, berlari menjadi tempat pulang yang sunyi. Tak perlu banyak hal.
Sepasang sepatu, jalan yang terbuka, dan waktu yang cukup sepuluh menit sudah mampu mengubah sesuatu dalam diri. Seperti yang disebutkan oleh Brick dan Holliday, “bahkan hanya sepuluh menit jogging sudah cukup untuk memperbaiki suasana hati. Efek positif ini terkait dengan peningkatan suasana hati yang aktif dan menurunnya kecemasan” (hlm. 26).
Jadi, mengapa kita berlari?
Mungkin karena tubuh kita menyimpan ingatan-ingatan yang tak bisa lagi dibicarakan. Dan hanya melalui langkah, semua itu bisa dikeluarkan.
Mungkin karena dunia tidak bisa dijelaskan seluruhnya. Maka kita menyusurinya dengan kaki, bukan dengan teori.
Mungkin karena kita tak ingin hilang. Dan dalam setiap jejak di jalan basah, kita menandai bahwa kita pernah ada.
Atau mungkin, karena berlari adalah satu-satunya bentuk doa yang masih bisa dilakukan oleh mereka yang kehilangan kata-kata.
Dan selama kita bisa terus bergerak, meski perlahan, kita belum benar-benar kalah.