Gus Baha: Jangan Anti Kritik

Gus Baha: Jangan Anti Kritik

Gus Baha: Jangan Anti Kritik

Dalam sebuah pengajian , KH. Ahmad Bahauddin Nursalim atau yang akrab disapa Gus Baha kembali mengingatkan pentingnya melatih akal untuk menerima perintah Allah. Ia mengutip pemikiran Imam al-Ghazali, seorang ulama besar yang dikenal dengan kedalaman ilmunya dan kelugasan analoginya.

“Agama itu dipimpin oleh akal,” ujar Gus Baha. Bukan sekadar akal yang cerdas, melainkan akal yang terbiasa berpikir jernih dan obyektif, bahkan terhadap diri sendiri. Salah satu latihan akal yang diajarkan Imam al-Ghazali adalah kemampuan menerima nasihat dan kritik—tanpa terbakar emosi.

Gus Baha menyindir fenomena yang kerap terjadi dalam masyarakat modern, terutama dalam sistem demokrasi. Di permukaan, orang mudah mengucapkan jargon seperti “terbuka terhadap kritik dan saran.” Namun dalam praktiknya, kritik justru sering disambut dengan kemarahan dan pembelaan diri yang berlebihan. “Gayanya pejabat bilang menerima kritik dan saran, tapi ketika dikritik beneran, malah marah. Apa-apaan,” tutur Gus Baha dengan gaya khasnya yang jenaka namun menusuk.

Untuk menggambarkan pentingnya sikap terbuka terhadap kritik, Gus Baha mengutip analogi cemerlang dari Imam al-Ghazali: bayangkan jika di tubuhmu menempel seekor kalajengking berbisa, dan seseorang memperingatkanmu akan bahaya itu. Apakah kamu akan marah pada orang itu, atau justru berterima kasih karena sudah menyelamatkanmu?

“Tentu kita akan berterima kasih,” tegas Gus Baha. Kalajengking itu nyata dan membahayakan. Maka saran atau peringatan yang datang dari orang lain pun harus dilihat seperti itu—sebagai bentuk kepedulian yang menyelamatkan, bukan serangan yang menghina.

Analogi ini, lanjut Gus Baha, berlaku pula dalam urusan batiniah. Hasad, dengki, dan pandangan mata yang tidak terjaga kepada lawan jenis adalah penyakit ruhani. Ia merusak, tidak hanya di dunia, tetapi juga berbahaya di akhirat. Jika seseorang mengingatkan kita akan penyakit-penyakit ini, sejatinya ia seperti orang yang menunjukkan adanya kalajengking di tubuh kita. Maka semestinya kita merasa berhutang budi, bukan justru mencela.

“Di situlah kelebihan ulama salaf,” ujar Gus Baha. “Mereka tidak hanya memerintahkan, tapi juga membimbing dengan logika yang membumi. Ada analogi, ada penjelasan yang masuk akal. Mereka tahu bagaimana cara menyentuh hati manusia melalui akalnya.”

Dalam lanskap kehidupan sosial hari ini, kemampuan untuk menahan ego dan menerima koreksi menjadi barang langka. Media sosial, misalnya, menjadikan banyak orang merasa bebas berpendapat, namun tidak siap dipertanyakan. Setiap kritik dianggap serangan, dan setiap peringatan dibalas dengan pembelaan. Dalam situasi ini, pesan Gus Baha menjadi relevan: bahwa justru kritik yang jujur adalah bentuk kasih sayang yang jarang ditemui.

Gus Baha mengajak umat Islam untuk meneladani ulama-ulama terdahulu yang mendidik akalnya agar menjadi penuntun jiwa, bukan hamba hawa nafsu. Sebab, menerima nasihat adalah tanda kematangan spiritual. Dan seperti kalajengking yang tak terlihat namun mematikan, penyakit hati pun harus dikenali dan disingkirkan—meski lewat kata-kata orang lain yang mungkin menyakitkan di awal, tapi menyelamatkan di akhir.