Krisis Independesi Intelektual

Krisis Independesi Intelektual

Krisis Independesi Intelektual

Pada 2022 saya berkunjung ke kampus tertua di dunia. Kampus itu berada di kota Fez, Maroko. Nama kampusnya: Universitas Al-Qarawiyin. Kampus itu berada di tengah-tengah grand bazar kota Fez. Kampus yang berdiri pada 859 M itu masih berdiri kokoh dan terjaga. Sebagian proses pembelajaran masih dipertahankan dengan model halaqah: guru duduk di sebuah kursi yang lebih tinggi dikelilingi para muridnya yang duduk bersila. Kelas itu berada di kompleks mesjid Al-Qarawiyin.

Selama di kampus itu saya berkesempatan melihat sudut kelas Ibnu Khaldun. Tokoh seperti Maimonides atau Musa Ibn Maymun, pemikir Yahudi, dan Paus Sylvester II pernah kuliah di sana. Pemikir Muslim lain, Ibnu Rusyd dan Al-Idrisi (tokoh yang sangat berjasa bagi ilmu peta dan navigasi dunia) juga pernah duduk bersila di lantai yang juga akhirnya saya duduki selama kunjungan itu. Singkat kata, Al-Qarawiyin adalah tempat kuliah nomor wahid pada masanya.

Menariknya kampus itu didirikan bukan oleh raja, sultan atau penguasa. Tapi oleh pengusaha perempuan bernama Fatimah Al-Fihri (w.880). Dia mewakafkan tanah bangunan dan uangnya untuk keberlangsungan kampus itu.

Pada masanya, praktik itu adalah praktik wajar. Waqaf adalah sistem pendanaan yang membuat lembaga-lembaga pendidikan di dunia Islam maju. Maju karena tidak tergantung pada tangan kekuasaan. Maju karena objektif dan tidak diganggu oleh kepentingan kekuasaan.

Karena mandiri, ilmu sepenuhnya diukur oleh ilmu. Murid hanya dinyatakan lulus dan mendapatkan ijazah jika dinyatakan lulus oleh gurunya. Tak perlu legitimasi penguasa.

***

Bulan lalu saya baru kembali dari Inggirs. Saya tinggal di kota Edinburgh untuk mengajar sebagai dosen tamu di Universitas Edinburgh. Selama di Inggris saya juga mengisi satu ceramah umum di SOAS, Universitas London. Di sela-sela kunjungan ke London saya menyempatkan berkunjung ke salah satu kampus tertua di dunia barat: Oxford dan Cambdridge.

Ketika berkunjung itu, saya sibuk mencari di mana letak salah satu college paling tua: Merton College. Ketika menemukannya saya sangat antusias dan sedikit emosional. Kawan mahasiswa yang mengantar saya bingung kenapa Merton College begitu spesial untuk saya.

Jika anda belajar hukum Islam, studi trust fund atau waqf, atau belajar sejarah institusi perguruan tinggi, Merton College adalah kasus yang unik. Saya pertama membaca informasi ini dari tulisan George dan John Makdisi. Juga dari Monica Gaudiosi. Keduanya, kurang lebih, mengatakan: Merton College, dengan sistem trust fund, mengadopsi model-model kampus di dunia Muslim seperti Al-Qarawiyin dan Zaytuna, juga Al-Azhar. Merton College Oxford berdiri tahun 1264. Ada gap lebih dari 400 tahun dari pendirian Al-Qarawiyin, Zaytuna dan Al-Azhar.

Model Oxford ini kemudian dikirim ke Amerika dan negara jajahan Inggris lain. Harvard dan kampus-kampus di Amerika mereplikasi model ini. Selanjutnya kita tahu bagaimana pengetahuan dan peradaban tumbuh.

***

Kenapa saya bercerita hal itu? Ada dua point yang menjadi pelajaran penting. Pertama, kampus-kampus Islam seperti Al-Qarawiyin, Zaytuna maupun Al-Azhar, juga Oxford dan Cambridge kemudian, besar dan maju karena hidup dari dana waqf. Waqf ini membuat kampus menjadi otonom, merdeka. Sampai sekarang, yang membut kampus sepeti Harvard berani melawan kegilaan Trump adalah karena kekuatan trust fund/uang waqf mereka. Mereka berani secara kritis berhadapan dengan kekuasaan karena independen.

Kedua, dalam tradisi pendidikan Islam, ijazah hanya diberikan oleh gurunya. Buat yang pernah kuliah doktoral di Amerika, praktik ini pasti tidak asing. Mahasiswa doktoral secara personal belajar pada pembimbingnya. Ketika pembimbing menilai muridnya sudah matang dan jadi, dia akan memberi ijazah kelulusan.

Lebih jauh bahkan gelar profesor pun diberikan oleh ‘senior’ profesor secara kolegial, bukan oleh penguasa politik. Ilmu diukur oleh ilmu.

***

Independensi dan otonomi kampus adalah prinsip pendidikan yang awalnya dikembangkan dalam Islam, kemudian diadopsi oleh banyak kampus lain di dunia. Jika berkaca pada sejarah itu, kampus Islam Negeri seperti sebuah penyimpangan. Kampus Islam tumbuh secara independen dari kekuasaan karena kekuatan waqf. Tapi sayang hal itu hancur seiring dengan munculnya negara bangsa dan nasionalisasi aset-aset awqaf--terutama terlihat dalam kasus Al-Azhar.

Kenapa perguruan tinggi harus independen? Sederhana saja: logika politik dan kekuasaan adalah logika mencari dan mengakumulasi kuasa dan kepentingan (politic is power seeker). Sementara perguruan tinggi harus bertumpu prinsip pencarian kebenaran (truth seeker). Kebenaran dan kekuasaan sering bertabrakan. Jika tak ada jarak di antara keduanya, sangat mungkin perguruan tinggi dikontrol dan dikooptasi!

Independensi bukan juga artinya memusuhi. Independensi artinya tidak boleh berdiri terlalu dekat karena cenderung akan dikooptasi, juga tidak boleh terlalu jauh karena akan dipinggirkan, dimarginalisasi.

Jika anda belajar sejarah bertahannya madzhab-madzhab hukum, anda juga akan sadar kenapa hanya empat madzhab yang bertahan. Empat madzhab itu yang relatif bisa menjaga keseimbangan antara avoiding marginalization and cooptation.

Krisis ini yang secara mendalam terjadi di Indonesia. Politik, yang selalu berdasar pada prinsip akumulasi kekuasaan, kontrol dan kuasa, mengatur terlalu jauh universitas yang harusnya hidup atas dasar prinsip pencarian kebenaran. Dan jika itu terus terjadi, jangan pernah bermimpi kita bisa menciptakan peradaban unggul.

Negara, jikapun ingin memberikan andil, harusnya tahu diri: uang yang diberikannya harus diniatkan sebagai uang waqf saja. Kampus harus sepenuhnya otonom. Uang sumbangan negara bukanlah alat bargaining: karena saya kasih uang, saya bisa atur. Jika itu terus terjadi, jika pengetahun berada di bawah ketiak politik, susah rasanya kita bisa maju.