
Sebuah ide menarik dilontarkan oleh Kiai Cholil Nafis, yang menyarankan agar masa tinggal jemaah haji di Saudi dapat dipersingkat menjadi hanya sekitar 20 hari. Ia menjelaskan bahwa dengan mengikuti jadwal tertentu, perjalanan ibadah haji dapat dipadatkan tanpa mengurangi esensi dari ibadah itu sendiri, bahkan dengan biaya yang lebih efisien.
Menurut Kiai Cholil, pelaksanaan haji sebenarnya hanya membutuhkan waktu sekitar enam hari, dengan tambahan waktu untuk ibadah sunnah yang mungkin bisa memakan waktu hingga sepuluh hari di Mekkah. Setelah itu, untuk jemaah yang ingin mengambil shalat Arba’in di Madinah, durasi seminggu di Madinah sudah cukup. Dalam rincian lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa jemaah bisa bergerak dari Mekkah menuju Mina pada tanggal 8 Dzulhijjah untuk Tarwiyah, dilanjutkan ke Arafah pada tanggal 9 untuk wuquf, dan menuju Muzdalifah.
Pada tanggal 10, mereka sudah berada kembali di Mina, dan kemudian melanjutkan perjalanan untuk melakukan ibadah haji. Setelah semua rangkaian ritual tersebut, pada tanggal 14 Dzulhijjah, jemaah bisa bergerak ke Madinah, yang berarti mereka hanya memerlukan dua minggu, termasuk perjalanan pulang-pergi. Menurutnya, hal ini bisa lebih efisien dan lebih murah.
“Kalau seminggu di Madinah yang berarti cuma 2 minggu pelaksanaan ibadah haji dan ziarah Madinah sehingga sekitar 20 hari perjalanan haji dengan pulang perginya,” ujarnya melalui unggahan di akun Instagram.
Bisa dibilang, ide salah satu ketua MUI ini bukan yang pertama, beberapa ulama, juga pernah melontarkan ide yang hampir sama. Zainut Tauhid pada tahun 2014, setelah Wakil Menteri Agama pada era Yaqut Cholil Qoumas juga pernah melempar ide yang sama. Ia beralasan, dengan mempercepat masa tinggal di Saudi, jemaah Indonesia bisa mengantisipasi kelelahan (Tempo). Selain itu, Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Kemenag RI dalam Rakernas Evaluasi Penyelenggaraan Ibadah Haji 1444 H/2023 M di Bandung, Jawa Barat, 6-8 September 2023. juga salah satunya menyoroti upaya memperpendek durasi masa tinggal jamaah haji di Arab Saudi (NU Online).
Saya pribadi sepakat dengan pandangan tersebut. Saya juga pernah terfikir hal yang sama. Selain dapat mengurangi biaya yang seringkali menjadi kendala bagi banyak jemaah, memperpendek durasi juga akan mempercepat operasional haji, memberikan kesempatan bagi lebih banyak orang untuk melaksanakan ibadah ini. Siapa yang tidak ingin biaya haji menjadi lebih murah dan lebih efisien?
Tapi, Penyelenggaraan Ibadah Haji Bukan Hanya Soal Ibadah
Namun, wacana untuk memperpendek masa tinggal jemaah haji tidak semudah yang dibayangkan. Salah satu hambatan utama yang harus dipertimbangkan adalah regulasi penerbangan yang ditetapkan oleh General Authority of Civil Aviation (GACA) Arab Saudi. Kebijakan GACA terkait operasional penerbangan haji mengharuskan negara dengan jumlah jemaah lebih dari 30.000 orang, seperti Indonesia, untuk memiliki masa tinggal jemaah minimal 30 hari.
Surat Edaran GACA No. 50867/2 yang diterbitkan pada 11 Mei 2022 menjelaskan bahwa masa operasional penerbangan haji untuk negara dengan kuota jemaah lebih dari 30.000 orang, seperti Indonesia dengan lebih dari 200.000 jemaah, diharuskan berlangsung selama 30 hari. Kebijakan ini bukan hanya berlaku bagi Indonesia, tetapi juga negara-negara lain dengan jumlah jemaah besar. Regulasinya membagi masa operasional penerbangan berdasarkan jumlah jemaah, di mana negara dengan kuota haji kurang dari 20.000 jemaah diberikan waktu 20 hari, sedangkan negara dengan kuota antara 20.000–30.000 jemaah diberikan waktu 25 hari, dan negara dengan kuota lebih dari 30.000 jemaah harus mengikuti masa penerbangan 30 hari (Kemenag).
Bagi negara-negara dengan kuota lebih dari 30.000 jemaah, seperti Indonesia, durasi penerbangan yang lebih lama menjadi kewajiban yang tidak bisa diubah. Selain masalah durasi penerbangan, proses pemulangan jemaah juga harus dilakukan secara bertahap, disesuaikan dengan kapasitas bandara dan slot penerbangan yang terbatas. Proses ini memerlukan waktu hingga 11 hari untuk diselesaikan, bahkan jika menggunakan pesawat charter.
Subhan Chalid, yang saat itu menjadi Direktur Layanan Haji Luar Negeri Kemenag (2023) pernah menyampaikan bahwa di antara beberapa alasan aturan terkait penerbangan tersebut adalah soal slot penerbangan dan kapasitas Bandara yang dimiliki Saudi. Indonesia hanya mendapatkan sekitar 17 hingga 18 slot penerbangan setiap harinya. Dikarenakan kondisi infrastruktur bandara yang ada saat ini di Arab Saudi, belum memungkinkan untuk menambahkan lebih banyak slot penerbangan untuk Indonesia. Jika slot penerbangan untuk Indonesia bisa diusahakan hingga 25 perhari, kemungkinan percepatan masa tinggal bisa dilakukan (NU Online).
Keinginan Jemaah untuk Berlama-lama di Tanah Suci
Meskipun banyak yang mendukung pemendekan masa tinggal jemaah haji di Tanah Suci, sebagian orang merasa lebih puas jika diberikan durasi yang panjang. Bagi mereka, waktu yang lebih lama di Tanah Suci memberikan kesempatan untuk beribadah lebih banyak dan merasakan kedalaman spiritual yang lebih besar. Seperti yang disampaikan oleh seorang netizen dalam komentarnya di akun kiai Cholil Nafis, “Tidak setuju pak kiyai. Kalau cuma efisiensi yang dipikirkan, harusnya pemerintah yang berpikir lebih keras. Kalau orang kaya, bisa mondar-mandir ke Tanah Suci. Tapi kalau orang berkecukupan, seumur hidup sekali dia pergi, alangkah baiknya seperti sekarang 40 hari biar dia bisa ngerasa kangen nikmatnya ibadah di sini. Jangan lagi-lagi rakyat yang berpikir.”
Komentar ini bisa dibilang sebagai representasi warga Indonesia yang menggunakan kesempatan naik haji sebagai aji mumpung untuk berlama-lama di Saudi. Bagi sebagian orang yang mungkin hanya bisa berangkat haji sekali seumur hidup, durasi yang lebih panjang memberikan mereka kesempatan untuk lebih mendalami ibadah dan merasakan kedekatan dengan Allah. Mereka merasa bahwa ibadah haji bukan hanya tentang melaksanakan rukun-rukun haji semata, tetapi juga tentang memperoleh pengalaman spiritual yang lebih dalam melalui waktu yang lebih banyak di Tanah Suci. Waktu untuk ziarah ke tempat-tempat bersejarah, berdoa di Masjidil Haram, serta menapak tilas perjalanan Nabi Muhammad SAW, merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pengalaman haji mereka.
Bagi mereka, setiap hari yang dihabiskan di Tanah Suci adalah kesempatan yang tidak boleh disia-siakan, dan mereka menghargai betul setiap detik yang diberikan untuk beribadah di tempat yang penuh berkah ini. Dengan demikian, meskipun ada dorongan untuk memperpendek masa tinggal demi efisiensi, banyak jemaah yang merasa bahwa durasi yang lebih panjang dapat memberikan mereka nilai spiritual yang jauh lebih besar, apalagi jika itu adalah satu-satunya kesempatan ia menginjakkan kaki di tanah suci. Bukankah tidak semua orang bisa berkali-kali berangkat ke sana? Jika pun dengan pengurangan masa tinggal, Ongkos Naik Haji (ONH) bisa lebih murah, mereka yang hanya bisa berangkat ke tanah suci sekali juga tidak mudah untuk kembali ke sana.
Perlu Lobi Tingkat Tinggi
Pelaksanaan ibadah haji bukan hanya kewenangan pemerintah Indonesia, melainkan otoritas Saudi sebagai tuan rumah. Mengingat banyaknya aspek yang perlu dipertimbangkan, baik dari sisi efisiensi operasional maupun kebutuhan spiritual jemaah, maka pemerintah Indonesia perlu melakukan banyak hal dan lobying tingkat tinggi kepada Pemerintah Arab Saudi, demi menciptakan solusi yang menguntungkan bagi semua pihak. Kita semua tahu, bahwa Saudi tidak hanya menerima jemaah haji asal Indonesia, melainkan juga negara-negara lain, khususnya negara-negara dengan penduduk muslim terbanyak.
Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia perlu trik lobi yang jitu dan terukur agar otoritas Saudi bisa memberikan tambahan slot penerbangan kepada Indonesia, atau memberikan alternatif lain yang dapat mendukung upaya-upaya mempercepat masa tinggal jemaah haji Indonesia di Saudi. Misalnya penambahan infrastruktur penerbangan. Perlu diketahui, hingga kini Saudi telah memberikan banyak pelayanan pendukung untuk jemaah asal Indonesia untuk memperingkas dan mempercepat proses administrasi. Misalnya, penambahan fast track yang semula hanya di satu bandara, yaitu Soekarno Hatta menjadi tiga: Adi Soemarmo, Solo dan Juanda, Surabaya.
Kebijakan haji ulang juga menurut penting untuk kembali dikaji. Keberangkatan jemaah haji yang berulang menambah masa tunggu jemaah haji menjadi sangat lama. Aturan-aturan lain seperti istitha’ah jemaah juga penting untuk dikuatkan. Pemerintah Indonesia dan Arab Saudi juga perlu melakukan evaluasi rutin terhadap kebijakan yang ada. Kebijakan ini harus selalu disesuaikan dengan kebutuhan jemaah dan perkembangan operasional, sehingga dapat menciptakan pengalaman haji yang lebih baik.
(AN)