
Ketegangan terbaru antara India dan Pakistan yang meletus kembali pada Mei 2025 bukan sekadar soal garis perbatasan atau kepentingan strategis konvensional. Eskalasi ini perlu dibaca dalam konteks politik domestik kedua negara, yang dalam dekade terakhir mengalami lonjakan populisme nasionalistik. Serangan rudal India ke sembilan titik strategis di Pakistan dan balasan Pakistan yang menjatuhkan dua jet tempur India bukan hanya soal pertahanan negara, tetapi merupakan bagian dari dramaturgi politik yang dirancang untuk konsumsi dalam negeri.
Fenomena ini menandakan pergeseran penting dalam bagaimana kita memahami konflik India–Pakistan. Bila sebelumnya konflik ini dilihat dalam kerangka realisme klasik—sebagai perebutan kekuasaan atau dominasi wilayah—kini kita perlu membacanya melalui lensa populist securitization, sebuah pendekatan yang menunjukkan bagaimana ancaman eksternal dikonstruksi untuk mendongkrak legitimasi domestik aktor populis. Dalam model ini, pemimpin politik tidak hanya merespons ancaman, mereka juga menciptakan dan memanipulasi ancaman untuk memperkuat posisi politiknya di dalam negeri.
Populisme dan Produksi Ancaman
Populisme, dalam bentuknya yang kini dominan, tidak sekadar mengklaim keberpihakan pada “rakyat”. Ia memosisikan pemimpin sebagai satu-satunya representasi autentik dari “kita” yang terancam oleh “mereka”. Di dalam negeri, “mereka” bisa berupa elit lama, minoritas, atau institusi demokrasi. Di luar negeri, “mereka” sering kali diterjemahkan menjadi musuh eksternal: negara tetangga, organisasi multilateral, atau bahkan ideologi asing.
Konflik India–Pakistan menyediakan platform ideal untuk jenis populisme semacam ini. Di India, pemerintahan Narendra Modi dan Partai Bharatiya Janata (BJP) telah menggabungkan Hindu nasionalisme dengan logika keamanan negara. Sejak masa kampanye pemilu 2014, retorika BJP kerap menggambarkan Pakistan sebagai sarang terorisme yang mengancam integritas India. Dalam retorika resmi maupun narasi media partisan, Pakistan adalah cermin dari “apa yang salah” dalam pendekatan lunak terhadap ancaman nasional.
Narasi ini tidak lepas dari momen-momen seperti serangan Pulwama 2019, yang dijadikan pembenaran untuk aksi balasan India di Balakot. Saat itu, Modi secara eksplisit menggunakan keberanian India menyerang wilayah Pakistan sebagai bahan kampanye. Aksi militer yang seharusnya tunduk pada kalkulasi strategis jangka panjang dijadikan panggung politik jangka pendek. Retorika “India kuat” berhasil memobilisasi dukungan nasionalis, menciptakan polarisasi internal, dan memperkuat posisi BJP dalam pemilu.
Situasi di Pakistan tidak jauh berbeda. Pemerintahan sipil yang lemah dan militer yang dominan menggunakan konflik dengan India sebagai sarana konsolidasi kekuasaan. Elite militer Pakistan memiliki insentif langsung untuk mempertahankan citra India sebagai ancaman eksistensial. Selain untuk mempertahankan legitimasi politik mereka, narasi ini juga memperkuat anggaran pertahanan dan peran militer dalam kebijakan luar negeri.
Seiring dengan meningkatnya ketidakpuasan publik terhadap situasi ekonomi yang memburuk, elite politik di Islamabad juga semakin bergantung pada simbolisme perlawanan terhadap India untuk mempertahankan kepercayaan rakyat. Dalam sistem yang demokratis secara prosedural namun lemah secara institusional, politik identitas dan nasionalisme defensif menjadi satu-satunya modal politik yang stabil.
Konflik sebagai Teater Elektoral
Ketegangan Mei 2025 terjadi di tengah menurunnya indeks kepercayaan publik terhadap pemerintah di kedua negara. Di India, ekonomi pasca-pandemi belum sepenuhnya pulih. Sektor tenaga kerja informal melemah, harga pangan naik, dan ketimpangan meningkat. BJP menghadapi tantangan elektoral serius, termasuk dari koalisi oposisi yang mulai membangun kekuatan di negara-negara bagian kunci. Dalam konteks seperti ini, konflik eksternal menawarkan gangguan naratif dan kesempatan untuk menyatukan kembali basis dukungan nasionalis.
Di Pakistan, inflasi mencapai dua digit, dan nilai tukar rupee terperosok tajam. Ketidakpercayaan terhadap lembaga-lembaga sipil, termasuk parlemen dan pengadilan, berada pada titik rendah. Demonstrasi protes terhadap penghapusan subsidi dan pemutusan pasokan listrik telah menyebar ke berbagai kota. Dalam situasi seperti ini, konfrontasi dengan India digunakan sebagai pengalih perhatian dan sekaligus sebagai pernyataan simbolik bahwa negara tetap kuat dan bersatu.
Konflik ini, dalam istilah yang lebih keras, adalah teater elektoral. Tujuannya bukan kemenangan militer, melainkan kemenangan naratif. Apa yang dicapai dalam medan politik domestik jauh lebih penting dibanding pencapaian di medan perang. Di sinilah kerangka populist securitization menjadi penting: ketika aktor populis mengidentifikasi “musuh luar” dan memproduksi narasi ancaman, maka kebijakan keamanan menjadi alat untuk legitimasi, bukan sekadar pertahanan.
Konsekuensi Regional dan Global
Panggung nasionalisme populis bukan tanpa dampak. Konflik yang dipelihara demi kepentingan politik domestik membawa konsekuensi strategis bagi kawasan dan dunia. Lonjakan harga minyak global akibat ketegangan militer di Asia Selatan telah memicu tekanan inflasi di negara-negara pengimpor energi. Ketidakpastian geopolitik juga memperburuk iklim investasi, terutama di negara berkembang yang dianggap dekat secara geografis dan politis.
Di Indonesia, dampaknya bersifat langsung dan sistemik. Dengan lebih dari 35 persen kebutuhan energi dipenuhi dari impor, Indonesia tidak bisa menghindar dari volatilitas pasar energi global. Hubungan dagang yang erat dengan India, termasuk dalam komoditas seperti batu bara dan minyak sawit, juga menghadapi risiko terganggunya rantai pasok. Kenaikan harga energi akan menekan APBN, meningkatkan biaya produksi, dan memperlemah daya beli masyarakat.
Dari sisi diplomasi regional, ASEAN juga menghadapi dilema. Ketidaksamaan posisi negara-negara anggota terhadap India dan Pakistan menjadikan respons kolektif sulit terbangun. Indonesia, sebagai pemimpin de facto kawasan, berada pada posisi sulit. Netralitas tidak lagi cukup. Diperlukan diplomasi yang lebih aktif dan strategis untuk merespons dinamika baru ini, bukan sekadar sebagai penengah, tetapi sebagai aktor dengan kepentingan nasional yang jelas.
Menantang Normalisasi Konflik
Bahaya terbesar dari konflik India–Pakistan dalam konteks populisme adalah normalisasi kekerasan demi stabilitas domestik. Ketika masyarakat terbiasa melihat konflik sebagai bagian dari siklus politik, maka ruang deliberasi mengecil. Diplomasi menjadi simbolis. Oposisi dibungkam atas nama patriotisme. Dan publik kehilangan kapasitas untuk membedakan antara keamanan dan propaganda.
Fenomena ini juga menciptakan path dependency—ketergantungan pada pendekatan kekerasan sebagai solusi politik. Ketika aktor populis berhasil mendapatkan insentif elektoral dari konflik, maka dorongan untuk deeskalasi akan semakin lemah. Bahkan saat konflik tidak menguntungkan secara ekonomi atau diplomatik, ia tetap dipelihara karena logika politik internal lebih dominan dibanding kalkulasi strategis eksternal.
Kondisi ini menuntut perubahan pendekatan dari komunitas internasional. Alih-alih sekadar mendorong dialog bilateral, diperlukan upaya yang lebih luas untuk mendemokratkan diskursus keamanan di kedua negara. Media bebas, partai oposisi yang kuat, serta lembaga pengawasan yang independen adalah bagian dari infrastruktur perdamaian jangka panjang. Tanpa itu, konflik akan tetap menjadi bagian dari siklus politik elektoral.
Konflik India–Pakistan tidak bisa lagi dibaca hanya melalui kacamata sejarah atau perimbangan kekuatan militer. Ia harus dilihat sebagai produk dari sistem politik domestik yang mengandalkan ancaman eksternal untuk mempertahankan kekuasaan. Dalam konteks ini, ancaman bukan sesuatu yang dicegah, melainkan diciptakan.
Selama insentif politik domestik mendukung produksi ancaman, maka perdamaian tidak akan muncul sebagai kebutuhan strategis. Ia hanya akan menjadi slogan dalam pidato diplomatik, bukan komitmen kebijakan nyata.
Indonesia dan negara-negara lain di kawasan harus memahami dinamika ini dan menyesuaikan strategi mereka. Ketika politik keamanan dijadikan panggung populisme, maka kebijakan luar negeri pun harus berani tampil lebih realistis dan tajam.
Virdika Rizky Utama, Direktur Eksekutif PARA Syndicate dan Dosen Hubungan Internasional, President University