Obituari Paus Fransiskus (1936–2025): Pesan Paskah dari Sang Gembala Berkalung Salib Logam di Dada

Obituari Paus Fransiskus (1936–2025): Pesan Paskah dari Sang Gembala Berkalung Salib Logam di Dada

Obituari Paus Fransiskus (1936–2025): Pesan Paskah dari Sang Gembala Berkalung Salib Logam di Dada

Hening langit pagi di Roma pada Senin, 21 April 2025, jadi saksi sewaktu suara dunia perlahan meredup seiring helaan napas terakhir Jorge Mario Bergoglio. Sosok yang dikenal dunia sebagai Paus Fransiskus. Paus pertama dari Amerika Latin, dari Ordo Serikat Jesuit, dan dari belahan dunia Selatan, meninggalkan dunia dalam keheningan doa di Casa Santa Marta.

Namun spiritualitasnya tak pernah sunyi. Ia bukan saja gembala Gereja Katolik sejagat, namun juga pembawa kabar zaman yang menyuarakan jeritan bumi dan luka Palestina. Dua medan derita yang baginya menggambarkan kesedihan wajah Tuhan.

Dikenang karena menolak tinggal di Istana Apostolik dan lebih memilih kamar sederhana di Santa Marta. Ia menunjukkan kekudusan tidak harus berpijak di atas marmer Vatikan. Kekudusan baginya harus mengalir dari derita dan luka umat manusia. Pilihan hidup asketik bukanlah cuma pilihan etik, melainkan cara pastoral mendekatkan kembali Gereja pada yang terpinggir dan tersisihkan.

Paus menolak kursi dan salib emas dengan memilih salib logam biasa. Setiap langkah, ia menolak kebekuan hierarki demi keakraban dalam kebersamaan. Dalam homilinya, Fransiskus kerap mengutip Santo Ignatius dan Santo Fransiskus dari Asisi, seolah dua kekuatan spiritual melebur dalam dirinya.

Melalui film The Two Popes (2019) garapan Fernando Meirelles penulis mendapatkan sajian pertemuan imajiner sangat manusiawi antara dua tokoh Gereja Katolik: Paus Benediktus XVI (diperankan oleh Anthony Hopkins) dan Kardinal Jorge Mario Bergoglio (diperankan oleh Jonathan Pryce), yang kemudian menjadi Paus Fransiskus.

Film ini menggambarkan bukan saja transisi kepausan, melainkan tentang dua pandangan teologis dan spiritual saling bertentangan namun mencoba berdialog. Benediktus digambarkan sebagai representasi konservatisme Gereja, yang menjunjung dogma dan tradisi. Sementara Bergoglio pembawa semangat reformasi, keterbukaan, dan pembelaan terhadap kaum miskin. Dalam tiap adegan percakapan mereka, penonton diajak merenungkan soal dosa, pengampunan, keheningan iman, dan makna sejati pelayanan spiritual di tengah dunia yang terus berubah.

Sisi manusia dari dua pemimpin agama acap kali hanya terlihat dari balik jubah dan protokol. Meirelles tidak mengarahkan penonton memihak salah satu tokoh, melainkan menunjukkan kekudusan tidak bebas dari keraguan, rasa bersalah, dan pergulatan batin. Dengan latar krisis Gereja dan sejumlah skandal yang melanda Vatikan, The Two Popes jadi kisah reflektif tentang bagaimana institusi besar bisa belajar dari kerendahan hati, dan dua jiwa yang berbeda bertemu di tengah rasa saling hormat demi mencari jalan kebenaran bersama.

Lahir di Buenos Aires, Argentina, pada 17 Desember 1936. Selama lebih dari satu dekade kepausannya, Fransiskus adalah jembatan kemanusiaan lintas iman, juru bicara krisis iklim, dan sahabat kaum miskin serta para pengungsi. Ia bicara tentang kepausan bukan sebagai tahta, melainkan ladang pelayanan. Dalam kata-katanya yang terkenal, “Gereja harus seperti rumah sakit di medan perang.”

Paus Fransiskus ke Jakarta

Di tengah kepadatan jadwal dan kesehatannya terus menurun, Paus Fransiskus tetap menyempatkan diri menyentuh hati umat di dunia. Salah satu momen mengharukan terjadi pada 4 September 2024, saat ia mengunjungi Indonesia, negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia. Masyarakat tumpah di jalan-jalan menyambutnya.

Kunjungan ke Gereja Katedral Jakarta sebagai simbol penting persaudaraan lintas iman. Di tengah kerumunan yang bersorak dan histeris, Fransiskus menyampaikan pesan perdamaian dan persatuan. Ia memuji Pancasila sebagai dasar hidup bersama yang patut menjadi contoh dunia. Dalam kunjungan itu, ia juga bertemu dengan pemuka semua agama, dan mengatakan, “Kita bukan sekadar hidup berdampingan, tapi berjalan bersama sebagai saudara.”

Kehadirannya di tanah air disambut Presiden RI dan para tokoh lintas agama. Masyarakat biasa yang datang dari berbagai pelosok meminta berkat dan doa. Mereka menyampaikan kerinduan dan cinta kepada pemimpin Katolik yang rendah hati itu. Kunjungan ini dikenang sebagai peristiwa spiritual yang menguatkan semangat toleransi di tanah air.

Bumi adalah Rumah yang Terluka

Di bawah pontifikatnya, Gereja Katolik berbicara dengan suara yang belum pernah setegas itu tentang persoalan lingkungan hidup. Melalui ensiklik Laudato Si’ (2015), Fransiskus menggeser wacana teologis dari menara gading menuju krisis ekologi global. Ia menulis: “Kita tidak mengalami dua krisis terpisah, melainkan satu krisis kompleks dan menyatu, yaitu lingkungan dan sosial.”

Ia mengangkat konsep “ekologi integral,” menegaskan, kerusakan lingkungan adalah wajah dari ketimpangan sosial. Laudato Si’ mengkritik keras kapitalisme predator dan konsumerisme. Dalam semangat profetik, Paus menegaskan, “teriakan bumi dan jerit tangis orang miskin adalah satu dan sama.”

Ia tidak hanya khutbah dan menulis. Ia turun ke masyarakat, berkunjung ke kawasan Amazon yang hancur dibakar. Memeluk para aktivis muda lingkungan, dan menyebut para perusak lingkungan sebagai pelaku dosa berat penghancur masa depan generasi. Dalam pandangannya, kehancuran ekologi adalah kegagalan iman.

Palestina dalam Doa Seorang Paus

Namun, jika kerusakan bumi adalah ratapan pertama Paus Fransiskus, maka Palestina adalah tangis yang paling dalam. Ia menyebutnya “tanah yang dijanjikan untuk perdamaian namun dipenuhi oleh penderitaan.” Dalam berbagai kunjungan, doa-doanya tak pernah netral. Ia mencium dinding pemisah di Betlehem, bukan sebagai ritual kosong, tapi sebagai tanda protes terhadap penindasan.

Dalam audiensi Vatikan, ia menerima delegasi Palestina dan menyebutkan “hak hidup dan merdeka bangsa Palestina” sebagai bagian dari martabat ilahi setiap manusia. Ia menyebut pemukiman ilegal Israel sebagai “pelanggaran terhadap hukum internasional dan moral hati nurani.” Ketika banyak pemimpin agama memilih diam, Paus Fransiskus memilih bersuara lantang. Ketika dunia memandang Gaza hanya sebagai angka-angka, ia melihatnya bagaikan kanak-kanak Yesus yang terus lahir di kandang tanpa dinding dan dijatuhi bom.

Buku The Political Pope oleh George Neumayr menyebut Fransiskus sebagai “paus yang lebih progresif dari kebanyakan politisi liberal Eropa.” Namun sejarawan Katolik seperti Massimo Faggioli menyebutnya “reformer yang setia,” setia bukan kepada institusi, tapi kepada semangat Injil yang menyatukan cinta kasih dan keadilan. Paus memberikan izin kibarkan bendera Palestina di Vatikan.

Tidak ada konflik dunia yang lebih menghantui Fransiskus selain derita rakyat Palestina. Dalam banyak kesempatan, ia menyebut Palestina bukan sekadar nama wilayah, tetapi luka kemanusiaan yang belum sembuh. Dalam doa dan diplomasi, Fransiskus selalu menekankan solusi dua negara yang adil dan bermartabat.

Ia memeluk erat Presiden Mahmoud Abbas, menyebutnya sebagai “angel of peace”, dan mengecam pendudukan penindas. Dalam pesan Natal 2023, ia berkata lirih: “Betlehem kini dikepung ketakutan, bukan sukacita. Anak-anak yang dulu dijanjikan damai (Palestina), kini hidup di bawah bayang-bayang drone penghancur.”

Bagi Fransiskus, kemanusiaan tidak boleh ditawar demi klaim kekuasaan. Ia berdiri dalam barisan para pemimpin spiritual yang menyuarakan perlawanan dalam bentuk kelembutan dan doa. Dalam bukunya Let Us Dream (2020), ia menulis: “Tuhan tidak berpihak pada kekuasaan, tetapi pada keadilan.”

 Fransiskus adalah jembatan antara Selatan yang penuh luka dan Utara yang kehilangan empati. Ia sering menyentil negara-negara kaya yang menutup perbatasan bagi pengungsi. Mereka menyimpan vaksin untuk negaranya sendiri, dan merampok sumber daya negara-negara miskin. Dalam setiap pertemuan internasional, bahkan Fransiskus tak pernah hanya bicara soal Vatikan saja, namun sebagai juru bicara zaman yang mendekonstruksi ketamakan global.

Kehadirannya dalam forum COP, G20, bahkan pertemuan antaragama, selalu membawa pesan bahwa iman tidak netral di hadapan ketidakadilan. Dalam Fratelli Tutti (2020), ia menyerukan persaudaraan universal melampaui agama, ras, dan batas negara.

Didid Dananto, aktivis perlindungan anak yang juga santri Romo Mangunwijaya menyampaikan kepada penulis bahwa Paus Fransiskus mampu menghadirkan wajah Gereja yang tidak hanya penuh kasih, namun juga rendah hati dan sadar akan kefanaan. Ia lebih suka disebut sebagai “Uskup Roma” ketimbang gelar agung lainnya. Sebuah pilihan yang mencerminkan semangat Jesuit: kepemimpinan yang bersumber dari pelayanan, bukan kekuasaan. Dalam semangat ini, ia tidak melihat hidup sebagai garis lurus menuju puncak, tetapi sebagai lingkaran pembelajaran dan pertobatan, sebagaimana dihayati dalam Theology of Hope. Tidak ada manusia sempurna, karena yang ada hanyalah proses menyempurna dalam rahmat dan waktu Tuhan.

Menyadari ketidaksempurnaan dalam kepemimpinan itu, ia jujur tentang keterbatasannya. Ia tidak menghindar dari luka dunia. Ia melangkah masuk ke penampungan pengungsi, mencuci kaki para napi, menyebut korupsi sebagai kanker masyarakat, dan tidak ragu mengkritik kemapanan institusi Gereja itu sendiri.

Dalam tahun-tahun terakhir, ia bernapas dengan sebagian paru-parunya. Kakinya nyaris lumpuh, dan beban Gereja yang tidak ringan. Tapi ia tidak pernah mengeluh. Ia hanya meminta: doakan aku.

Perdamaian Palestina dalam Pesan Paskah

Minggu 20 April 2025, Paus Fransiskus menyerukan gencatan senjata di Gaza dalam pesan Paskah yang dibacakan ajudannya. Ia belum sepenuhnya pulih dari pneumonia yang nyaris merenggut nyawanya. Dalam kondisi lemah, Paus tetap memaksakan diri tampil di balkon Basilika Santo Petrus, menyampaikan berkat Urbi et Orbi dengan suara serak namun penuh keyakinan.

Mengutip Channel News Asia, ia menyerukan diakhirinya perang, pembebasan sandera, serta bantuan bagi warga sipil yang kelaparan di Gaza. “Saya menyampaikan kedekatan saya dengan penderitaan rakyat Israel dan Palestina,” ucapnya lirih. Seakan titah perdamaian terakhirnya hendak ia titipkan pada langit Roma dan nurani dunia.

Keesokan harinya, pada Senin pagi yang hening, Paus Fransiskus mengembuskan napas terakhir. Dunia pun berduka, kehilangan suara moral yang hingga detik terakhir hidupnya, masih memilih berdiri di sisi kemanusiaan, menjadikan pesan damai sebagai warisan abadi di tengah kobaran perang yang belum kunjung padam.

Kini, Fransiskus telah kembali ke “Casa del Padre,” rumah Bapa, seperti yang sering ia katakan dalam homilinya. Ia wariskan spiritualitas yang tidak terhitung angka-angka. Kasihnya melampaui dogma, Keberaniannya melawan arus, dan harapannya bersinar dari Vatikan hingga lorong-lorong jiwa manusia.

Paus Fransiskus tidak ingin dikenang sebagai penguasa, melainkan murid yang berusaha mengikuti jejak Sang Guru di jalan penderitaan dan pengharapan. Ia meminta pemakaman sederhana tanpa kemewahan, cukup liturgi iman. Bahkan dalam wafatnya, ia ingin menunjukkan, hidup seorang Paus bukan tentang kemuliaan, tetapi tentang pelayanan. “Ritus ini,” ujar Uskup Agung Diego Ravelli, “berusaha menegaskan kembali, pemakaman seorang Paus bukan pemakaman sang raja, melainkan pemakaman seorang murid.”

Melalui catatannya, refleksi terdalam iman Fransiskus justru hadir dalam kata-kata paling jujur namun rapuh. “Though I know that He has already given me many blessings, I ask the Lord for just one more: Look after me, let it happen whenever You wish, but, as You know, I’m not very brave when it comes to physical pain…. So, please, don’t make me suffer too much.” Di sini kita tidak melihat seorang pemimpin agama yang digdaya, melainkan seorang murid sejati yang tetap gentar akan pedihnya rasa sakit dan tetap bersandar penuh kepada Tuhan. Doanya bukan demi cita-cita keabadian, melainkan kelegaan, bukan keagungan, melainkan kasih sayang yang sederhana.

Paus yang pernah berkata “bau domba harus menempel di tubuh gembala”, kini telah kembali kepada Sang Gembala Agung. Tetapi bau kasihnya, doa-doanya, dan seruan profetiknya akan terus bersemayam bersama dunia yang masih tak tentu arah. Semua itu tidak bisa diabaikan. Dalam Fratelli Tutti, “Tak ada damai tanpa keadilan. Tak ada keadilan tanpa kasih. Tak ada kasih tanpa keberanian.”

Kehidupan iman sejati, seperti yang diperlihatkan oleh Paus Fransiskus, bukanlah tentang laku simbolik di altar besar, tetapi keberanian menjadi kecil, menjadi manusia utuh yang sadar batas dan menggantungkan harapan hanya pada belas kasih Ilahi.

Dalam HOPE, otobiografinya, bagian That You May Remember and Be Ashamed, (2025) Paus berwasiat, di akhir hidupnya, ia memilih tidak dimakamkan di tengah kemegahan Basilika Santo Petrus, tetapi di tempat yang tenang di Santa Maria Maggiore, dekat Regina della Pace, sang Ratu Damai. Di sana, ia merasa telah dipeluk “lebih dari seratus kali” selama masa kepausannya. Ungkapan keintiman spiritual mendalam dengan Maria sebagai sumber kekuatan dan damai dalam menjalani panggilan sebagai gembala umat.

Iman, dalam pengejawantahan seperti ini, menjadi bukan sekadar doktrin, melainkan jalan hidup yang lembut, jujur, dan penuh kerendahan hati. Gembala telah pergi, namun gema suaranya terus hidup bagi perdamaian Israel-Palestina dan dunia: “Terrorism and extremism do not help reach a solution to the conflict between Israelis and Palestinians, but fuel hatred, violence, revenge and only cause suffering for both sides.” L’Osservatore Romano, 12 Oktober 2023.